Minggu, 28 April 2019

Jumat, 19 April 2019

Rukyatul Hilal Penentuan Awal bulan Sya'ban 1440 H

Assalamualaikum wr wb.

IKHBAR.

Awal bulan SYA'BAN 1440 H bertepatan dengan AHAD PAHING (mulai malam Ahad), 7 April 2019, atas dasar ISTIKMAL karena tidak ada perukyat yang dapat melihat hilal pada Jum'at petang. Diantara sebagian tim rukyat yang telah melaporkan, kami sertakan dalam catatan di bawah ikhbar sebagai dasar penetapan.

Terimakasih atas isytirok (partisipasi) dan isham (kontribusi) Nahdliyyin.

PBNU   
Lembaga Falakiyah

Ketua,


(KH. A. Ghazalie Masroeri)

====================

Catatan:

- Mohon bisa mensyiarkan ikhbar ini ke segenap nahdliyin.

- Laporan Rukyatul Hilal Penentuan Awal bulan Sya'ban 1440 H

pada Jumat 29 Rajab 1440H (5 April 2019 TU) oleh tim perukyat Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia, antara lain:

1.  Blitar (Jawa Timur) - ust Bahrul - hilal tidak teramati - mendung tebal.

2. Condrodipo Gresik (Jawa Timur) - kyai Muhyidin Hasan - hilal tidak teramati - hujan.

3. Ponorogo (Jawa Timur) - ust Ahmad Junaidi - hilal tidak teramati - hujan.

4. Pangandaran (Jawa Barat) - ust Ayi Faisal Tasikmalaya - hilal tidak teramati - mendung tebal.

5. Jepara (Jawa Tengah) - ust Muyassir - hilal tidak teramati - cuaca tanpa keterangan

6. Kudus (Jawa Tengah) - H Joko Prasetiyo - hilal tidak teramati - berawan sebagian.

7. Semarang (Jawa Tengah) - KH Slamet Hambali - hilal tidak teramati - hujan.

8. Jakarta Barat (DKI Jakarta) - ust Syamsuddin - hilal tidak teramati - mendung.

9. Lereng Gn. Pandan Madiun (Jatim) - ust. Muhson Taufiq - hilal tidak teramati - mendung

10. Selayar (Sulawesi Selatan) - ust Rajamuda Lologau - hilal tidak teramati - berawan.

11. Bukit Sukuh Ngargoyoso, Karanganyar (Jateng) - Ust. Ahmad Nurrochim - hilal tidak teramati - mendung

Mlm Nisfu Sya'ban 1440 H bertepatan hari Sabtu mlm Ahad tgl 20 April 2019

Jakarta, 5 April 2019
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Lembaga Falakiyah
Koordinator Rukyat_

Kamis, 18 April 2019

ULAMA KOK JADI UMARO’…?!

ULAMA KOK JADI UMARO’…?!
Ulama kok mau jadi umaro’ alias khalifah…?! Kalau ulama ya tolong jadi ulama saja dan tidak usah menjadi khalifah segala. Ulama yang dekat dengan penguasa itu, apalagi masuk ke pintu istana, bisa jadi ulama yang buruk alias ulama su'. Lha wong dekat saja sudah bisa disebut ulama su’ mosok sekarang ini ada ulama, bahkan Ketua MUI, yang malah mau jadi Wakil Presiden. Berhati-hatilah…!
Sik talah, rek…! Ojok sangar-sangar opo’o….
Sekarang saya mau tanya. Apakah menurut kalian Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib itu bukan ulama? Apakah kalian punya ulama yang lebih ulama ketimbang mereka berempat?  Coba sebutkan SATU SAJA ulama kalian yang paling kalian bangga-banggakan sejak dulu sampai sekarang yang kira-kira lebih ulama ketimbang mereka berempat.
Insya Allah gak akan ada ulamanya ulama, ustadsnya ustads, habaibnya habaib yang berani  bilang bahwa diri mereka lebih ulama daripada ke empat sahabat Nabi yang luar biasa tersebut.
Nah, sekarang saya mau tanya sampeyan, iya termasuk sampeyan yang di pojokan… Apakah ke empat sahabat Nabi yang lebih ulama daripada para ulama mana pun ini bukan umaro’? Apakah mereka berempat ini bukan pemimpin negara? Mereka bahkan dianggap sebagai best of the bestnya khalifah alias umaro di zaman masing-masing sehingga dijuluki Khulafaur Rasyidhin. Khulafaur Rasyidin dapat di artinya sebagai pemimpin pengganti setelah Rasulullah SAW.. Tak ada khalifah lain yang dijuluki Khulafaur Rasyidhin selain mereka berempat. Dan mereka adalah ulama sekaligus umaro’. Saya tegaskan lagi, mereka adalah ulama sekaligus umaro’. Cukup jelas…?!
Sekarang saya mau tanya sama sampeyan, iya termasuk sampeyan yang ongap angop ae dari tadi…
Apakah kalian tidak suka dipimpin oleh ulama seperti ke empat khalifah tersebut dan lebih memilih dipimpin Muawiyah dengan dinasti-dinastinya?
Ketika ke empat khalifah tersebut menjadi pemimpin tentu saja para ulama atau para sahabat Nabi yang alim bludas bludus saja bertemu dengan umaro’nya ini. Jadi pada waktu zaman mereka tidak ada dikotomi ulama dan umaro’. Tidak ada omongan tolong saya jangan diundang ke istana karena saya seorang ulama. Bisa luntur keulamaan saya karena masuk istana. Eh, iya waktu itu mereka belum punya istana ding!
Intinya adalah…
(Sik, aku mau apene ngomong opo yo…?! Kok mbliyut.)
Sebetulnya yang memprovokasi agar jangan ada ulama di istana itu sebetulnya siapa dan konteksnya bagaimana sih?
Surabaya, 13 April 2019

Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/

Rabu, 17 April 2019

Buletin Jum’at Risalah NU edisi 66,Menuju Kalimat Yang Sama

“Nabi Muhammad s.a.w. dan umatnya, diperintahkan oleh Allah s.w.t agar melakukan dialog dengan cara yang baik bersama orang-orang Yahudi dan Nasrani agar semuanya kembali kepada agama yang benar, yaitu agama Tauhid yang diajarkan para Nabi dan Rasul termasuk Nabi Ibrahim a.s.”

Edisi ke-66 kali ini akan membahas lebih dalam tentang :

“Menuju Kalimat Yang Sama”

Buletin Jumat resmi Nahdlatul Ulama untuk dicetak jarak jauh.

Buletin Jum’at Risalah NU edisi 66
https://www.risalahnu.com/blog/2019/04/16/979/

Buletin Risalah NU dikelola oleh Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN/Infokom dan Publikasi) PBNU

Rekening Donasi an Majalah NU.
Bank BRI : 0335-01-001234-30.0

Konfirmasi donasi.
Setiap donatur mohon untuk memberikan konfirmasi ke :
1. 0857 7492 0131
2. 0813 6361 2666

Dengan format :
#Nama#Alamat#email#BesarDonasi#TanggalTransfer#Buletin

Yuk Berlangganan Majalah Risalah NU di
www.risalahnu.com

Senin, 01 April 2019

Kerancuan penggunaan istilah Khalifah, Khilafah, dan juga Khalifatullah fil Ardh oleh Nadirsyah Hosen

Istilah Khilafah Tidak Ada Dalam Al-Qur’an

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand

Banyak terjadi kerancuan di kalangan umat mengenai penggunaan istilah Khalifah, Khilafah, dan juga Khalifatullah fil Ardh. Perlu saya tegaskan bahwa

1. Tidak ada istilah Khilafah dalam al-Qur’an
2. Tidak ada istilah Khalifatullah fil Ardh dalam al-Qur’an
3. Hanya dua kali al-Qur’an menggunakan istilah khalifah, yang ditujukan untuk Nabi Adam dan Nabi Dawud.

Mari kita simak bahasan berikut ini:

Penggunaan terminologi atau istilah Khalifah itu hanya digunakan dua kali dalam al-Qur’an. Pertama, dalam QS 2:30

 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."

Konteks ayat ini berkenaan dengan penciptaan Nabi Adam as. Ini artinya Nabi Adam dan keturunannya telah Allah pilih sebagai pengelola bumi. Penggunaan istilah Khalifah di sini berlaku untuk setiap anak cucu Adam.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia....” (QS 33:72)

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS 17:70)

“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS 21: 105)

Potensi semua manusia menjadi khalifah ini juga disinggung oleh Hadis Nabi Saw:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya” (Sahih al-Bukhori, Hadis No 4789)

Kedua, ayat terakhir yang menyebut istilah khalifah itu adalah yang berkenaan dengan Nabi Dawud:

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...” (QS 38:26)

Harap diingat bahwa Nabi Dawud adalah Raja Bani Israil. Dalam ayat di atas, Nabi Dawud diperintah untuk memberi keputusan dengan adil. Inilah spirit ajaran Qur’an: keadilan. Sehingga amanah sebagai khalifah (pemimpin) harus diwujudkan dengan prinsip keadilan. Kata adil dalam al-Qur’an disebut sebanyak 28 kali.

Pada titik ini, tidak satupun ayat mengenai Khalifah bicara mengenai sistem pemerintahan. Tentu ini dapat dipahami karena ada jarak yang jauh antara Nabi Adam dan Nabi Dawud dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw. Istilah Khalifah dalam konteks kepemimpinan umat pasca wafatnya Rasulullah Saw muncul setelah beliau Saw wafat.

Titel kepemimpinan Abu Bakar itu Khalifatur Rasul (Pengganti Rasul). Karena tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, maka Abu Bakar menggantikan beliau Saw dalam kapasitas sebagai pemimpn umat, bukan pengemban kenabian.

Menurut sejarawan Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, titel untuk Umar Bin Khattab itu Khalifatu Khalifatir Rasul (Pengganti dari penggantinya Rasul). Ini mungkin seperti ungkapan joke dari orang Madura, “Gubernur Jawa Timur itu Pak Mohammad Noer, selain itu ya cuma penggantinya”. Jadi, Sayidina Umar hanya dianggap sebagai Khalifah Pengganti Khalifah Rasul. Tapi penyebutannya kan jadi ribet. Nanti khalifah ketiga dan keempat gimana penyebutannya?

Abdullah bin Jahsy kemudian menyebut Sayidina Umar sebagai Amirul Mu’minin. Maka gelar Khalifah tetap dipakai, namun dalam pelaksanaannya di masyarakat Khalifah kedua, ketiga dan keempat dipanggil dengan sebutan Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman).

Tradisi ini diteruskan oleh Bani Umayyah. Sepeninggal Bani Umayyah, muncul istilah baru di masa Khalifah ketiga Abbasiyah, yaitu Al-Mahdi. Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting emerintahan sehari-hari diserahkan kepada wazir (semacam perdana menteri).

Istilah khalifatullah fil Ardh ini tidak ada dalam al-Qur’an. Yang ada dalam al-Qur’an itu istilah “khalaif al-ardh” atau “khalaif fil ardh”. Misalnya:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalaif al-ardh (penguasa-penguasa di bumi) dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS 6:165)

“Kemudian Kami jadikan kamu khalaif fil ardh (pengganti-pengganti di muka bumi) sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”. (QS 10:14)

Jadi, sekali lagi menjadi jelas bahwa penggunaan kata khalifah dalam al-Qur’an digunakan merujuk ke Nabi Adam dan Nabi Dawud, bukan merujuk kepada khalifah sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ditemukan istilah Khilafah dalam al-Qur’an. Maka kita sebaiknya jangan mengklaim sebuah istilah seolah ada dalam al-Qur’an padahal tidak ada sama sekali. Begitu pula istilah Khalifatullah fil ardh, yang penggunaannya sangat politis dilakukan oleh Abbasiyah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan mereka.

Lantas apa bedanya khalifah dengan khilafah? Khilafah belakangan ini telah menjadi sebuah istilah yang bermakna sistem pemerintahan. Pemerintahan Khilafah ini sudah bubar sejak tahun 1924. Maka tepat kita katakan “Islam Yes, Khilafah No”. Bukan saja kita bilang No karena sudah bubar, dan digantikan oleh negara-bangsa, tapi juga istilah Khilafah tidak ada dalam al-Qur’an. Istilahnya saja tidak ada, apalagi bentuk dan sistem pemerintahan yang baku juga tidak terdapat penjelasannya di dalam al-Qur’an.

Bisakah seorang menjadi Khalifah tanpa ada Khilafah? Bisa. Kenapa tidak? Bukankah kita semua sebagai anak cucu Nabi Adam adalah pewaris dan pengelola bumi? Ini khalifah dalam pengertian Qur’an, bukan dalam konteks sistem Khilafah ala HTI.

Bisakah pemimpin sekarang kita sebut sebagai Khalifah meskipun tidak ada khilafah? Bisa, mengapa tidak? Bukankah Nabi Dawud menjadi Khalifah padahal beliau Raja Bani Israil? Kata kuncinya, seperti dijelaskan di atas, adalah keadilan. Sesiapa pemimpin yang adil, bisa kita anggap sebagai Khalifah seperti Nabi Dawud

Bisakah ada khalifah tanpa khilafah? Bisa, mengapa tidak? Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani itu berdasarkan kerajaan, diwariskan turun temurun. Ini bertentangan dengan konsep yang dijalankan Khulafa ar-Rasyidin. Tapi toh namanya juga disebut sebagai Khalifah. Artinya pada titik ini cuma sebutan gelar belaka untuk kepala negara, sementara esensinya sudah hilang.

Jadi  jangan dikacaukan antara istilah khalifah dalam al-Qur’an dengan istilah khilafah (sistem pemerintahan) yang tidak ada dalam al-Qur’an.

Bagaimana dengan di kitab fiqh? Pembahasan di kitab fiqh itu dalam konteks kewajiban mengangkat pemimpin (Imam atau khalifah), bukan kewajiban menegakkan sistem khilafah. Sampai di titik ini kerancuan semakin parah: seolah wajib mendirikan sistem khilafah. Padahal yang wajib itu memilih pemimpin.

Dan saat ini kita di Indonesia sudah punya pemimpin yang bernama Joko Widodo. Sebentar lagi kita akan menggelar Pilpres lima-tahunan, sesuatu yang tidak pernah ada dalam sistem pemerintahan khilafah. Bersyukurlah kita di bawah naungan NKRI!