Puasa Arafah adalah puasa sunnah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini sangat dianjurkan sesuai sabda Rasulullah SAW berikut ini:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَالَّتِيْ بَعْدَهُ
Rasulullah
SAW bersabda, “Puasa pada hari Arafah bisa menghapus (dosa) setahun
yaitu tahun yang sebelum dan sesudahnya,” (HR Muslim).
Adapun
perihal hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah ini kerap menjadi perbincangan
di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap tanggal 9
Dzulhijjah jatuh pada peristiwa wuquf jamaah haji di Arab Saudi.
Sementara sebagian masyarakat menganggap tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada
hari kesembilan setelah penetapan awal bulan Dzulhijjah.
Masalah
ini pernah diangkat dalam bahtsul masail pada Forum Muktamar Ke-30 NU
di Pesantren Lirboyo, Kediri, November 1999 M. Peserta forum Muktamar NU
saat itu dihadapkan pada kenyataan di mana waktu di Indonesia lebih
cepat kira-kira 4-5 jam dari waktu Saudi Arabia. Dengan demikian, waktu
sahur atau buka puasa bagi Muslimin di Indonesia lebih cepat kira-kira
4-5 jam.
Pertanyaannya kemudian adalah puasa sunnah
hari ‘Arafah bagi kaum Muslimin yang tidak sedang melakukan ibadah haji,
apakah karena peristiwa wuquf atau karena kalender bulan Hijriyah?
Forum
muktamar NU ketika itu menjawab bahwa puasa yang dilakukan adalah
karena yaumu ‘Arafah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan
kalender negara setempat yang berdasarkan rukyatul hilal. Mereka
mengutip antara lain Kitab Futuhatul Wahhab karya Syekh Sulaiman
Al-Jamal.
وَقَدْ قَالُوا لَيْسَ يَوْمُ الْفِطْرِ
أَوَّلَ شَوَّالٍ مُطْلَقًا بَلْ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَكَذَا يَوْمُ
النَّحْرِ يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ وَيَوْمُ عَرَفَةَ الَّذِي يَظْهَرُ
لَهُمْ أَنَّهُ يَوْمُ عَرَفَةَ سَوَاءٌ التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ لِخَبَرِ
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلشَّافِعِيِّ
وَعَرَفَةُ يَوْمَ يَعْرِفُ النَّاسُ وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ
أَوْ مَعَ غَيْرِهِ وَشَهِدَ بِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ يَقِفُ قَبْلَهُمْ
لَا مَعَهُمْ وَيُجْزِيهِ إذْ الْعِبْرَةُ فِي دُخُولِ وَقْتِ عَرَفَةَ
وَخُرُوجِهِ بِاعْتِقَادِهِ
Artinya, “Para ulama
berkata, ‘Hari raya fitri itu bukan berarti awal Syawwal secara mutlak,
(namun) adalah hari di mana orang-orang sudah tidak berpuasa lagi,
demikian halnya hari nahr adalah hari orang-orang menyembelih kurban,
dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang menurut orang-orang tampak
sebagai hari Arafah, meski tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, mengingat
hadits, ‘Berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari orang-orang tidak
berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban,’ (HR
Tirmidzi, dan ia shahihkan). Dalam riwayat Imam Syafi’i ada hadits,
‘Hari Arafah adalah hari yang telah dimaklumi oleh orang-orang.’
Barangsiapa melihat hilal sendirian atau bersama orang lain dan ia
bersaksi dengannya, lalu kesaksiannya itu ditolak, maka ia harus wuquf
sebelum orang-orang, tidak boleh wuquf bersama mereka, dan wuqufnya
mencukupi (sebagai rukun haji). Sebab yang menjadi pedoman perihal waktu
masuk dan keluarnya hari Arafah adalah keyakinannya sendiri,” (Lihat
Sulaiman bin Manshur Al-Jamal, Futuhatul Wahhab bi Taudhihi Fathil
Wahhab, (Mesir, At-Tujjariyah Al-Kubra: tanpa catatan tahun), jilid II,
halaman 460).
Dari keterangan ini kita menyimpulkan
bahwa hari puasa sunnah Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah yang
penetapan awal bulannya didasarkan pada aktivitas rukyatul hilal pada
negeri tersebut, bukan pada hari di mana para jamaah haji melakukan
wuquf di bukit Arafah, Arab Saudi.