Minggu, 07 Juli 2019

TAWASSUL Menurut Empat Madzhab

TAWASSUL Menurut Empat Madzhab

Suatu ketika, ada kawan saya yang bernama Dul Kemin (yang sering dipanggil IKHWAN) tiba² berdiri dan bertanya :

Dul  :
Gus Mujib, bagaimana hukum tawassul dalam kacamata Islam? Dari tadi Anda paparkan pentingnya bermadzhab. Sementara, 4 imam madzhab dulu tidak beryawassul. Apakah Gus Mujib tidak menyalahi petunjuk imam madzhab?

Saya : Mohon maaf sebelumnya, saya hanyalah 'sebutir debu' ISLAM NUSANTARA yang selalu mewiridkan "Allohumma luwah-luweh" saat dibilang kafir, sesat, bidngah dll oleh mereka yang 'merasa paling Islam'. Biarlah, saya akan tetap 'ndableg' untuk terus nempel dan nggak mau lepas dari 'tali jagad'nya NAHDLATUL ULAMA'.

Pak Dul Kemin alias mas IKHWAN yang baik,  masalah #tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan kesepakatan (Ijma') para ulama. Hal ini dinyatakan oleh ulama empat madzhab, di antaranya disebutkan oleh al-Mardawi al-Hanbali dalam Kitabnya al-Inshaf, Al-Imam al-Hafizh  Taqiyyuddin as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa’ as-Saqam, Mulla ‘Ali al-Qari al-Hanafi dalam Syarh al-Misykat, dan Ibn al-Hajj al-Maliki dalam kitabnya al-Madkhal.

Ibn Muflih al-Hanbali dalam kitab al-Furu’ berkata:

وَيَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِصَالِحٍ، وَقِيْلَ: يُسْتَحَبُّ

“Boleh bertawassul dengan orang saleh, bahkan dalam suatu pendapat disunnahkan”.

Al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam kitab Kasysyaf al-Qina’, menuliskan sebagai berikut:

وَقَالَ السَّامِرِيُّ وَصَاحِبُ التَّلْخِيْصِ: لاَ بَأْسَ بِالتَّوَسُّلِ لِلاسْتِسْقَاءِ بِالشُّيُوْخِ وَالعُلَمَاءِ الْمُتَّقِيْنَ، وَقَالَ فِيْ الْمُذَهَّبِ: يَجُوْزُ أَنْ يُسْتَشْفَعَ إِلَى اللهِ بِرَجُلٍ صَالِحٍ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ فِيْ مَنْسَكِهِ الَّذِيْ كَتَبَهُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ –يَعْنِيْ أَنَّ الْمُسْتَسْقِيَ يُسَنُّ لَهُ فِيْ اسْتِسْقَائِهِ أَنْ يَتَوَسَّلَ بِالنَّبِيِّ- ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ"، ثُمَّ قَالَ:"قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: الدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِ مَعْرُوْفٍ الْكَرْخِيِّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ.

“As-Samiri dan pengarang kitab at-Talkhish berkata: Boleh bertawassul untuk meminta hujan kepada Allah dengan orang-orang saleh dan para ulama yang bertaqwa. Pengarang kitab al-Mudzahhab berkata: Boleh beristisyfa’ dan bertawassul kepada Allah dengan orang yang saleh, bahkan menurut suatu pendapat disunnahkan. Al-Imam Ahmad mengatakan dalam kitab Mana-sik yang beliau tulis untuk al-Marrudzi: Orang yang berdoa setelah istisqa’ hendaklah bertawassul dengan Rasulullah dalam doa-nya. Dalam kitab al-Mustau’ab dan lainnya -disebutkan- bahwa hal ini dipastikan sebagai (pendapat) madzhab Ahmad”. Kemudian al-Buhuti berkata: “Ibrahim al-Harbi berkata: Berdoa di makam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang mujarrab (artinya, jika berdoa di sana akan dikabulkan oleh Allah)” .

Al-Imam Ibrahim al-Harbi adalah seorang ulama dan sufi besar yang hidup semasa dengan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Beliau benar-benar salah seorang ulama terkemuka saat itu, hingga al-Imam Ahmad ibn Hanbal memerintahkan anaknya, yaitu ‘Abdullah  ibn Ahmad, untuk berguru kepadanya.

Syekh ‘Ala-uddin al-Mardawi al-Hanbali, salah satu ulama madzhab Hanbali terkemuka, dalam kitab al-Inshaf, menuliskan sebagai berikut:

وَمِنْهَا يَجُوْزُ التَّوَسُّلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ عَلَى الصَّحِيْحِ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَقِيْلَ يُسْتَحَبُّ، قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ لِلْمَرُّوْذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِيْ دُعَائِهِ، وَجَزَمَ بِهِ فِيْ الْمُسْتَوْعَبِ وَغَيْرِهِ

“Di antaranya: boleh bertawassul dengan orang saleh menurut pendapat yang shahih dalam madzhab (Hanbali), bahkan menurut suatu pendapat dalam madzhab disunnahkan. Al-Imam Ahmad mengatakan kepada al Marrudzi: hendaklah orang yang beristisqa’ bertawassul dengan Nabi dalam doanya, dan hal ini dipastikan sebagai madzhab Ahmad dalam kitab al Mustaw’ab dan lainnya” .

Bahkan al-Imam Ahmad ibn Hanbal sendiri berkomentar tentang salah seorang sufi kenamaan, yaitu Abu ‘Abdillah Shafwan ibn Sulaim al-Madani, bahwa dia adalah seorang yang sangat patut untuk dijadikan wasilah kepada Allah. Perkataan al-Imam Ahmad ini dinukil oleh al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, sebagai berikut:

قَالَ أَحْمَدُ: هُوَ يُسْتَسْقَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ، وَقَالَ مَرَّةً: هُوَ ثِقَةٌ مِنْ خِيَارِ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

"Ahmad ibn Hanbal berkata: “Dia (Shafwan bin Sulaim) adalah orang yang kita memohon hujan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya”. Pada kesempatan lain Ahmad berkata: Beliau (Shafwan ibn Suliam) adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dan termasuk hamba Allah yang saleh” .

Perkataan al-Imam Ahmad ibn Hanbal tentang Shafwan ibn Sulaim ini, selain dikutip oleh  al-Hafizh az-Zabidi, juga telah dikutip oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Huffazh . Dalam kutipan al-Hafizh as-Suyuthi sebagai berikut:

وَذُكِرَ عِنْدَ أَحْمَدَ فَقَالَ: هَذَا رَجُلٌ يُسْتَشْفَى بِحَدِيْثِهِ وَيَنْزِلُ القَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ

"Suatu ketika disebut nama Shafwan ibn Sulaim di hadapan Ahmad, maka Ahmad berkata: Dia ini adalah orang yang kita memohon kesembuhan kepada Allah dengan haditsnya dan akan turun hujan dengan menyebut namanya”.

Kemudian ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal menukil pernyataan ayahnya sendiri, -yaitu al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal, bahwa ayahnya tersebut berkata:

قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقَى بِهِمَا ابْنُ عَجْلاَنَ وَيَزِيْدُ بْنُ يَزِيْدَ بْنِ جَابِرٍ

"Ahmad ibn Hanbal berkata: Sufyan ibn ‘Uyainah berkata: Ada dua orang saleh yang kita memohon hujan kepada Allah dengan menyebut namanya: Ibn ‘Ajlan dan Yazid ibn Yazid ibn Jabir."

Marilah kita renungkan, dalam pernyataan-pernyataannya ini al-Imam Ahmad ibn Hanbbal sama sekali tidak berkata: “Yustasqa Bi Du’aih…” (Dimohonkan hujan dengan doa orang-orang saleh tersebut). Tidak seperti pemahaman kaum Wahabiyyah yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan doa seorang yang hadir saja, atau mengatakan bahwa tawassul dengan menyebut orang-orang saleh adalah perbuatan syirik. Sebaliknya, al-Imam Ahmad justru menjadikan penyebutan orang-orang saleh seperti tersebut di atas adalah sebagai sebab turunnya hujan.

Dari sini kita tarik kesimpulan bahwa al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dan ajaran madzhab Hanbali -sebagaimana juga madzhab-madzhab yang lain- telah membolehkan tawassul dengan Rasulullah dan orang-orang saleh yang sudah meninggal, bahkan hal itu disunnahkan. Lalu dari mana dasar kaum Wahhabaiyyah, -yang mengaku pengikut madzhab Hanbali-, mengatakan bahwa tawassul adalah haram, bahkan sebagai perbuatan syirik?! Dari mana mereka mengatakan bahwa para ulama Salaf telah melarang dan bahwa mereka tidak pernah melakukan tawassul?! Sungguh aneh, mengaku pengikut al-Imam Ahmad atau mengaku bermadzhab Hanbali, tapi kemudian mengatakan haram bahkan mengatakan syirik terhadap sesuatu yang dibolehkan oleh Al-Imam Ahmad dan ulama madzhabnya sendiri! Bukankah jika demikian pengakuan mereka bermadzhab Hanbali hanya sebagai “kedok” belaka?!

Lihatlah, Imam Abu al-Wafa’ ibn ‘Aqil (w 503 H), salah seorang ulama besar madzhab Hanbali, bahkan sebagai Ahl at-Takhrij (Ashab al-Wujuh) dalam madzhab ini, beliau sangat menganjurkan dan menekankan ziarah ke makam Rasulullah. Beliau juga sangat menganjurkan untuk tawassul dengan Rasulullah, seperti yang telah beliau sebutkan dalam kitab at-Tadzkirah. Ini adalah salah satu bukti bahwa orang-orang yang mengaku bermadzhab Hanbali, tapi kemudian mengharamkan tawassul dan memusyrikkan pelakunya, sebetulnya mereka adalah orang-orang yang menyempal dari madzhab Hanbali sendiri. Benar, itulah prilaku mereka yang selalu membawa ajaran-ajaran baru, baik dalam masalah-masalah Ushuliyyah maupun dalam masalah-masalah Furu’iyyah. Dan merekalah yang “mengotori” dan bertanggung jawab atas “tercemarnya” kagungan madzhab Hanbali, madzhab yang telah dirintis oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal ini.

Demikian, intinya #Tawassul itu penting bagi yang 'sudah sadar' dan tidak penting bagi yang sementara waktu 'belum sadar diri'. Mudah mudahan semuanya diberi petunjuk dan kembali ke jalan salafuna sholih, bisirril faatihah...

Sekali lagi terimakasih ya Mas Dul Kemin atas pertanyaan indahnya, mudah²an kopi malam ini bermanfaat, bikin sehat dan barokah.

Semoga bermanfaat,
Wallohu a'lamu bish showab

Tidak ada komentar: