*Kisah Perjuangan Awal Bukalapak*
by: Achmad Zaky
Sukses
yang diraih pendiri sekaligus CEO Bukalapak, Achmad Zaky, tidak datang
serta-merta. Setidaknya ada tiga hal yang telah mengubah hidupnya. Semua
itu dipaparkan Zaky dalam kuliah umum di hadapan ribuan mahasiswa dari
Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu.
"Saya
ingin berbagi cerita mengenai 3 hal yang menurut saya penting buat
adik-adik sekalian ketahui," ujarnya dalam acara itu. Inilah 3 faktor
tersebut:
*1. Soal Keberuntungan (Luck)*
Saya
berasal dari kampung di pinggir Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Saya
bukanlah anak paling pintar di kampung tersebut. Orangtua saya juga
bukan paling kaya, keduanya guru mengajar di SMP sekitar rumah. Tapi
saya beruntung mereka memikirkan saya, mendidik saya, dan menabung agar
saya bisa kuliah di universitas terbaik. Inilah keberuntungan pertama
saya dalam hidup. Dan saya kira adik-adik semuanya yang sudah kuliah di
salah satu universitas terbaik, sudah jauh lebih beruntung dari saya.
Kita harus bersyukur karena ini. Manfaatkanlah keberuntungan ini dengan
sebaik-baiknya.
Sebagai mahasiswa
dari daerah, kuliah di ITB tidaklah mudah. Saya sempat tidak pede karena
banyak mahasiswa ITB yang pintar-pintar. Tapi ternyata disinilah
keberuntungan saya selanjutnya. Saya berteman dengan orang-orang yang
jauh lebih pintar. Salah satu teman dekat saya adalah mahasiswa paling
pintar di ITB. Dia tidak pernah mendapatkan nilai selain A selama kuliah
di ITB 4 tahun. Bahkan untuk mata kuliah Agama dia mendapat A sementara
Ketua Keluarga Mahasiswa Islam waktu itu mendapat B.
Satu
minggu sebelum ujian biasanya saya datang ke kosan dia untuk belajar.
Jadi menjelang hari H saya siap betul. Ketika H-1 teman saya banyak
bertanya ke saya soal ujian, pasti bisa, wong saya sudah belajar dari
mahagurunya. Dengan mengajari teman-teman, saya juga jadi lebih pintar.
Mereka tidak tahu bahwa saya sebelumnya belajar dari Fajrin. Namanya
Fajrin Rasyid, dia kini jadi salah satu pendiri dan CFO di Bukalapak.
Jadi
agar beruntung, bertemanlah sebanyak-banyaknya dengan teman yang lebih
cerdas & lebih pintar. Bidang apapun, tidak harus secara akademik.
Sebagai
mahasiswa dari daerah, saya memiliki momok yang sangat besar: Bahasa
Inggris. SD tempat saya sekolah di kampung tidak mengajarkan Bahasa
Inggris sama sekali di saat teman-teman SMP saya semuanya
mendapatkannya. Di SMP dan SMA, saya hampir tidak lulus hanya karena
Bahasa Inggris. Les tidak membantu karena menjadikan saya malah takut
dan minder.
Di test TOEFL se-ITB,
saya menduduki peringkat 3 dari bawah. Inilah ketakutan saya selama
kuliah di ITB, saya harus mengubur keinginan saya kuliah di luar negeri
yang semuanya mensyaratkan TOEFL. IP sebagus apapun tidak akan bisa
membantu jika TOEFL kurang bagus. Tapi Allah berkehendak lain,
keberuntungan selanjutnya datang. Waktu itu ada beasiswa pertukaran
pelajar ke Amerika yang hanya ditujukan untuk mahasiswa yang tidak bisa
Bahasa Inggris.
Saya langsung
mencari informasi terkait beasiswa tersebut. Saya datangi beberapa
alumni yang pernah mendapatkannya untuk menganalisa bagaimana
mendapatkan beasiswa tersebut. Rupanya kriteria utama beasiswa tersebut
adalah "tidak bisa berbahasa Inggris"; sudah pasti saya mendapatkan
nilai terbaik disini, hehehe...
Kriteria
kedua adalah nilai akademik yang baik. Di poin ini saya juga tidak
buruk berkat keberuntungan pertama tadi. Alhamdulillah saya mendapatkan
beasiswa dan berangkat ke Amerika Serikat. Setibanya di Amerika, saya
baru tahu "How are you", "I'm fine", "Thank you" dsb, itu padahal kuno
banget. Saya mulai menyadari bahwa esensi belajar (bidang apapun) adalah
melakukan alias Doing, bukan hanya di kelas-kelas atau berdasarkan
textbook yang kadang saklek dan menakutkan.
Teman-teman
di Amerika juga maklum jika saya sering salah ngomong. Dari sinilah
saya mendapatkan banyak teman luar negeri hingga relasi-relasi luar
negeri, yang kelak membantu membesarkan jaringan investor saya untuk
membesarkan Bukalapak juga.
Pelajaran
dari poin pertama ini adalah *keberuntungan datang saat kita siap!*
Banyak kesempatan di depan mata menanti yang siap diambil. Kita harus
siapkan diri untuk mengambil kesempatan-kesempatan yang datang di masa
depan.
*2. Soal Kesenangan (Passion)*
Saya
selalu senang hal baru. Hal baru memberikan pembelajaran baru dan
wawasan baru. Kampus ITB saya manfaatkan juga untuk mengeksplor hal-hal
baru. Saya bergabung dengan banyak organisasi sewaktu di ITB. Dari KM
ITB saya belajar berpikir kritis (kadang sering demo). Dari himpunan
saya belajar kekompakan. Dari Menwa saya belajar kedisiplinan dan
ketahanan. Dari ARC saya belajar bagaimana ngoprek dan memecahkan suatu
masalah.
Saya
juga senang sekali mengikuti lomba-lomba di bidang software sehingga
memiliki tabungan yang lumayan lah. Waktu-waktu di ITB sangat tidak saya
sia-siakan. Saya terus mencari apa yang sebenarnya menjadi kesenangan
saya yang abadi nanti. Kita tidak pernah tahu apa isi hati/jiwa kita
sampai kita terus mencoba dan mengeksplorasinya.
Karena
pertemanan yang luas di kampus, saya juga membuat sebuah unit bernama
Techno Entrepreneurship Club. Kami berpikir, mahasiswa ITB harusnya
membuka lapangan pekerjaan, bukan malah mendesak mahasiswa lain yang
dulu sudah gagal masuk ITB, masa harus gagal lagi masuk dunia kerja
gara-gara mahasiswa ITB, ha ha ha...
Di
klub ini kami konkrit membuat warung mie ayam sebagai eksperimen. Semua
menggunakan uang pribadi kita sendiri-sendiri, dan ternyata gagal. Di
sinilah saya pertama kali gagal dan kehilangan uang besar (untuk ukuran
waktu itu) untuk pertama kalinya. Sedih rasanya waktu itu. Tapi
belakangan saya bersyukur, karena kegagalan inilah saya bisa lebih
matang menyiapkan eksplorasi saya selanjutnya.
Suatu
ketika, saya dikontak oleh sebuah stasiun televisi untuk membuat sebuah
software quick count pemilu, mereka mendapatkan referensi dari teman
saya. Walau saya belum pernah membuat software quick count, tapi saya
yakin itu bisa dilakukan, toh semua ada di Internet. Tidak ada yang
tidak mungkin dibuat, itu dogma jurusan saya Teknik Informatika, STEI.
Tanpa
berpanjang-lebar saya mengiyakan bisa membuat software tersebut yang
diberi deadline hanya 7 hari. Mereka bertanya berapa biayanya? Saya
jawab "1.5 juta". Hitung-hitungan saya, uang tersebut cukup untuk 6
bulan hidup, toh cuma 7 hari pengerjaannya. Pasti untung... wong tidak
ada biaya... cincai laaa (seperti iklan Bukalapak).
Pagi-siang-malam
saya begadang mengerjakan software tersebut di kosan (Tubagus) dan
akhirnya di hari H software tersebut lancar disiarkan di stasiun TV
nasional. Itulah project komersial pertama saya yang dinikmati oleh
puluhan bahkan ratusan juta orang di seluruh Indonesia. Ada perasaan
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, senang sekali rasanya
waktu itu hasil karya tangan sendiri dinikmati banyak orang.
Namun
belakangan saya baru tahu nilai proyeknya ratusan juta. Tapi saya tidak
menyesal karena setelahnya saya yang masih kuliah tingkat 3 waktu itu,
mendapatkan kepercayaan dari stasiun TV nasional untuk project
selanjutnya, yang tentu nilainya kini berbeda dari sebelumnya. Saya
naikkan 10x lipat dan mereka masih mau! Kesenangan inilah yang menjadi
momen penting dan jatuh cintanya saya pada dunia software.
Kita
tidak pernah tahu apa jadinya diri kita di masa depan. Hidup ini
menurut saya seperti air. Ikuti saja kemana air mengalir, sambil mencoba
hal-hal baru yang lewat dan terus ikuti kata hati kita (inner voice).
Jika senang dan mau, coba! Jika tidak ya tidak perlu dicoba. Kita bisa
menjadi terbaik karena kita senang dan mau di bidang itu. Carilah
kesenanganmu (passion).
*3. Soal Tujuan Hidup (Purpose)*
Setelah
lulus, saya sejenak pulang kampung. Saya mengamati banyak sekali
tetangga saya di kampung yang memiliki usaha kecil, tapi pendapatannya
masih sama dengan belasan tahun sebelumnya, padahal ada inflasi. lnilah
yang menjadi inspirasi awal pembuatan software lanjutan ini, supaya
bagaimana software tersebut bisa membuka kesempatan bagi usaha-usaha
kecil seperti tetangga saya dan jutaan usaha kecil lainnya, untuk
melebarkan sayap dan berkembang lebih besar lagi.
Perjalanan
baru pun dimulai. Saya mencari nama dan domain. Dari ratusan nama yang
saya daftar, terpilihlah Bukalapak. Selain harganya murah 90 ribu, nama
ini menggambarkan misi software ini, bahwa siapapun bisa semudah
menggelar tikar atau lapak dengan software. Siapapun bisa berbisnis dan
menjadi besar lewat Internet.
Saya
juga memutuskan mencari partner, karena misi besar ini tidak bisa saya
bangun sendirian. Tidak banyak yang tertarik ketika saya utarakan konsep
Bukalapak, tapi saya tidak menyerah. Saya akhirnya dipertemukan dengan
teman yang sebenarnya sudah lama satu jurusan dan juga satu SMA, Xinuc,
saat ini CTO di Bukalapak. Dia tidak aktif organisasi, tapi senangnya
ngoprek komputer di kosan.
Ketika
saya cerita ide Bukalapak, dia yang paling semangat. Rupanya dia selama
ini di kosan terus karena terobsesi dengan mesin. Bagaimana menciptakan
mesin yang bisa secara bersamaan digunakan oleh jutaan orang. "Ini
menarik," kata dia. Kami diskusi siang-malam bagaimana memulai semua
mimpi kami tersebut.
Kami
kemudian mulai membangun Bukalapak selama dua bulan non-stop berdua di
kamar kosan. Ya, dua laki-laki dalam satu kos. Tapi ini ga aneh-aneh lo
ya, ha ha ha... Kita berdua ini sedang membuat software. Website kami
live pada Januari 2010, dan tidak ada yang mengunjungi website kami. Ada
sih 1-2 pengunjung tapi pas kita cek sistem, itu komputer kami sendiri,
sedih dan marah rasanya, tapi lagi-lagi kita pantang padam. Kami selalu
ingat Tujuan Besar kami.
Perjalanan
baru dimulai. Saya mulai sisir lapak-lapak di pinggir jalan (offline)
dan juga online untuk bergabung dengan Bukalapak. Banyak yang tidak
tertarik dengan software kami. Tapi ada segelintir yang tertarik.
Aktivitas ini kami ulang terus setiap hari hingga 1 tahun kami memiliki
pasukan UKM hingga 10 ribu. Kami senang karena Tujuan kami
perlahan-lahan mulai mewujud.
Tapi
ada satu masalah besar: bisnis Internet saat itu memang belum matang,
pasarnya juga masih kecil. Uang pribadi kami habis untuk menghidupi
Bukalapak. Kami coba cari investor, tidak ada yang tertarik. Sementara
orang tua dan mungkin calon mertua sudah mulai bertanya "Kerja di mana
kamu?". Pertanyaan sakral ini menghantui kami terus, selain kenyataan
bahwa kas kami sudah nol. Xinuc pun pernah memiliki ide bagaimana kalau
kita sudahi saja. Tapi sekali lagi kami tidak menyerah, saya selalu
ingatkan diri dan Xinuc juga pada Tujuan Akhir.
Saya
sampaikan ke dia: "Lihatlah 10 ribu UKM itu, mereka hidup dari kita.
Kalau ini ditutup, mereka hidup dari mana?" Selalu mengingat Tujuan
Utama & Tujuan Akhir kita akan membuat kita jadi terus semangat. Tak
diduga-duga, pertumbuhan kami lebih cepat setelah itu. Internet di
tahun 2012 menjadi bisnis yang sudah mulai menarik dan terus berlanjut.
Per hari ini kami memiliki 1,8 juta UKM dan juga memproses 1 Triliun-an
transaksi setiap bulannya.
Pelajaran
dari poin ketiga ini: carilah Tujuan Hidupmu. *Tujuan inilah yang
menguatkan kita di masa-masa sulit.* Hidup hanya sekali, Tujuan ini
pulalah yang memberikan makna dalam hidup kita.
Sukses selalu kawan-kawan, dan jangan pernah menyerah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar