Senin, 29 Januari 2018

Peran dan Sejarah Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari Dalam Menanamkan Nasionalisme Religius

Peran dan Sejarah Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari Dalam Menanamkan Nasionalisme Religius

Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh Islam pertama yang menyatakan bahwa NKRI syah secara Fiqh Islam. Sehingga pada tanggal 14 September 1945, KH. Hasyim Asyari mengumpulkan para ulama dalam rapat terbatas di pesantren Tebuireng demi membahas Fatwa Jihad yang menjadi dasar dari Resolusi Jihad yang berisi dukungan terhadap proklamasi dan wajib berjihad demi mempertahankannya.

Berkorelasi dengan pandangan KH. Hasyim Asy’ari tentang nasionalisme religius. Beliau berpijak kepada pandangan politik Ahlussunnah wal jama’ah dari Syekh Nawawi al-Bantani, bahwa Dar al-Islam yang dijajah non-muslim, tetap menjadi negara Islam jika syariat Islam masih dijalankan. Namun, jika umat Islam dihalang-halangi dalam menjalankan syariat Islam, maka wajib hukumnya untuk berjihad dan status negara yang dijajah tersebut menjadi Dar al-Harb.

Pandangan KH. Hasyim Asy’ari tentang nasionalisme religius sudah diamalkan jauh sebelum proklamasi dikumandangkan. Beliau tidak pernah tunduk kepada penjajah yang menghalangi syariat Islam. Termasuk kepada bangsa sendiri yang berkhianat dan menjadi kaki tangan penjajah.

Pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy’ari mulai merintis pesantren Tebuireng di Jombang. Desa Tebuireng merupakan daerah hitam karena dihuni oleh para penjahat; perampok, penjudi, pencuri, dan preman. Berbagai ancaman dan kekerasan dari preman mengganggu santri dan kegiatan pesantren yang didukung polisi Belanda. Sehingga KH. Hasyim Asyari mengirimkan para santrinya untuk belajar pencak silat sampai ke Cirebon, Jawa Barat.

Pada tahun 1913 ketika polisi Belanda bersama preman memfitnah para santri di pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari menolak untuk menyerahkan diri. Akibatnya berujung kepada pembakaran pesantren. Namun, KH. Hasyim Asy’ari tidak gentar dan tidak pernah menyerah.

Usaha KH. Hasyim Asy’ari untuk meneguhkan Islam di negara jajahan Belanda pada tahun 1937, dibuktikan dengan ikut dalam organisasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Demi menentang Undang-Undang Perkawinan dari Belanda yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Akibat berbagai pertentangan tersebut, pemerintah Hindia Belanda melancarkan berbagai strategi lain termasuk memfitnah dan merayu. Pada tahun 1937, KH. Hasyim Asy’ari ditawari Bintang Kehormatan oleh Ratu Wilhemina berbentuk emas dan perak, namun beliau menolaknya.

Ketika penjajahan Jepang tahun 1942-1945. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa haram hukumnya melakukan seikeirei (membungkuk ke arah Istana kaisar Jepang), juga menolak berbagai propaganda Jepang melalui lagu Kimigayo yang diajarkan di sekolah-sekolah. Akibatnya, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap dan disiksa dalam penjara Jepang selama empat bulan. Namun, tidak menyurutkan tekadnya. Justru beliau menyiapkan strategi lain.

Pada tahun 1943, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang merupakan cikal bakal TNI, masih memiliki kemampuan serba terbatas. Senjata-senjata yang digunakan hasil rampasan dari senjata Belanda, Inggris atau Jepang. Maka KH. Hasyim Asy’ari mengirim para santri-santrinya untuk berlatih militer dalam barisan PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang. Bahkan beliau mengkader putranya, Abdul Kholiq, untuk terlibat dalam pembentukan PETA di daerah Jombang. Sehingga pada tahun 1944, terbentuklah laskar Hizbullah (laskar santri) dan Sabilillah (laskar Kiai). Sehingga Jepang pun menyadari bahwa kekuatan para santri dan ulama tidak bisa diremehkan sehingga membentuk partai Islam Masyumi.

Hubungan KH. Hasyim Asy’ari dengan para santrinya juga bukan seperti guru dan murid, namun seperti satu keluarga besar. Beliau tidak mengekang para santrinya agar mengikuti jalan pemikirannya. Misalnya, ketika KH. Hasyim Asy’ari mengizinkan santri beliau H. Wahab Chasbullah ikut bergabung dalam forum Indische Studi Club yang dipimpin Dr. Sutomo.

Ketika Jepang membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), beliau mengirim santri dan putranya, Abdul Kholiq untuk membentuk PETA di Jombang. Himahnya, lahirlah laskar Hizbullah dan Sabilillah. Sehingga pesantren Tebuireng di Jombang menjadi basis perjuangan laskar Hizbullah-Sabilillah demi memperjuangkan kemerdekaan NKRI.

Pendirian Nahdatul Ulama juga tidak terlepas dari kebutuhan akan organisasi Islam yang menyatukan pemikiran dan ikatan persaudaraan dan rasa kekeluargaan yang kuat di antara umat Islam. Awalnya KH. Hasyim Asy’ari khawatir nantinya NU menjadi sebab perpecahan umat dan tidak ingin jabatan apapun agar tidak menodai ibadahnya. Sehingga beliau mendapat petunjuk pendirian NU melalui ulama lain yaitu KH. Kholil Bangkalan yang mengutus santri beliau yang bernama KH. As’ad Syamsul Arifin untuk membawa tongkat dengan pesan surat Thahaa ayat 17-23 kemudian kedua kalinya membawa tasbih dan bacaan ya Jabbar ya Qohhar.

Hasyim Asy’ari sering berpesan. “Wahai ulama, jika engkau melihat orang lain berbuat kebajikan berdasarkan pendapat para imam atau taklid (mengikuti) meskipun pendapat tersebut tidak marjuh (beralasan) sedangkan engkau tidak setuju, jangan lantas mencaci maki mereka, tapi bimbinglah mereka dengan cara yang baik. Jika mereka tidak mau mengikutimu, jangan bertengkar dengan mereka. Sebab jika engkau bertengkar dengan sesama ulama, itu sama saja dengan membangun istana dengan menghancurkan kotanya.”

Kesimpulannya terdapat dari tulisan KH. Hasyim As’yari Al-Qannuun al-Asaasii li Jami’iyyat Nahdatul Ulama pada muktamar NU tahun 1930 yang menjelaskan ada tiga hal yang dibutuhkan demi mempersatukan umat yaitu:

1. Kemauan ingin bersatu
2. Saling Mengenal
3. Saling tenggang rasa, bersimpati dan toleransi

Sebagaimana pemikiran Aswaja. Mengutamakan kepentingan umat dengan memperkuat Ukhuwah Islamiyah di antara organisasi Islam sebagai saudara kandung, saudara seperguruan dan satu keluarga, yang tidak kaku, toleransi, dengan meniadakan fanatisme sempit dan menolak paham radikal dan ekstrem yang memecah belah bangsa, agama dan negara.

Perjuangan nasionalisme religius KH. Hasyim Asy’ari dalam menegakkan syariat Islam dan mempertahankan kemerdekaan di NKRI ditandai dengan Resolusi Jihad. Ketika Belanda dan sekutu mendarat di Surabaya demi merongrong kembali kedaulatan NKRI.

Fatwa Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng pada tanggal 14 September 1945 menjadi dasar Resolusi Jihad tanggal 21-22 Oktober 1945 demi mempertahankan kedaulatan NKRI. Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad yaitu :

1. Hukum membela negara demi melawan penjajah menjadi Fardlu ‘ain (Wajib) bagi umat muslim baik laki-laki ataupun perempuan dalam radius 90 kilometer.
2. Jihad melawan penjajah merupakan Jihad Fi Sabilillah. Para pejuang gugur akan mati syahid.
3. Bangsa sendiri yang berkhianat dan ikut memecah belah dan menjadi kaki tangan penjajah (mata-mata dan pengkhianat) wajib hukumnya dibunuh.

Setelah dikumandangkan Resolusi Jihad, maka bergeraklah laskar Sabilillah dan Hizbullah dari berbagai pelosok daerah di Jawa demi mempertahankan kota Surabaya yang dikuasai pasukan sekutu sehingga terjadi perang besar dalam sejarah Perang Dunia II pada 10 November 1945. Dari Jombang laskar Hizbullah dikomando Kiai Yusuf Hasyim, putra KH. Hasyim Asyari. Dari Pasuruan, datang laskar Hizbullah kompi II divisi timur yang dipimpin Kiai Sa’dullah dari Pondok Pesantren Sidogiri. Dari Kediri, komando datang dari KH. Mahrus Aly pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.

Dari Jember, komando datang dari laskar Hizbullah pimpinan KH. Abdullah Shiddiq yang juga perintis laskar santri Sabilillah. Dari Lumajang, dikomando Kiai Faqih. Dari Mojokerto datang laskar Hizbullah pimpinan KH. Moenasir Ali, mantan TNI. Dari kota Malang, laskar Kiai Mukti Harun. Dari barat Kota Surabaya datang Kiai Bisri Mustofa, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang. Dari Jawa Barat, Cirebon, datang pasukan yang dipimpin Kiai Abbas Buntet. Dari Situbondo, komando datang dari  KHR. As’ad Syamsul Arifin, yang memimpin kompi II laskar Hizbullah Jawa Timur, pengasuh pondok pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo.

Resolusi Jihad merupakan kontribusi pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari demi menegakkan syariat Islam dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Karena peristiwa 10 November 1945 memiliki poin penting demi kemerdekaan Indonesia, yaitu :

1. Peristiwa 10 November menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih memiliki kekuatan tempur (militaire strijdkracht). Termasuk peran para santri dan Kiai dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah yang bersatu demi kemerdekaan NKRI.
2. Peristiwa 10 November telah membuka mata dunia internasional termasuk PBB dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Sehingga menghasilkan beberapa perundingan menuju Indonesia merdeka.
3. Peristiwa 10 November membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia di daerah-daerah lain dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.

Dalam Muktamar NU ke-XVI tahun 1946 di Purwokerto, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa syariat Islam tidak akan dapat dijalankan dengan baik di negara yang terjajah.

Kesimpulan dari pandangan nasionalisme religus KH. Hasyim Asy’ari adalah :

1. Para santri dan para Kiai wajib terlibat dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
2. Peran pesantren sangat penting dalam membentengi bangsa dan negara dari paham dan gerakan radikal yang memecah belah kedaulatan NKRI.
3. Hukum berperang dalam Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin adalah bersifat defensif, tidak berperang jika tidak diperangi. Sebagaimana Rasulullah yang menerapkan Piagam Madinah.
4. Fatwa Resolusi Jihad bukan untuk memerangi kafir non muslim atau bangsa yang beragama lain. Namun, untuk memerangi penjajah dan kaki tangannya yang menghalangi syariat Islam dan memecah belah kedaulatan NKRI.

Sumber : harisantri.com

Tidak ada komentar: